Feminisme Dalam Diri Syekhah Rahmah El-Yunusyiah

Review  

Di tengah gempuran pemikiran ‘Barat’ dan segala istilah yang terkesan keren dan mentereng, feminisme menjadi salah satu topik yang paling sering dibahas oleh masrakat Indonesia, baik di forum umum maupun diskusi ilmiah. Lahir di Eropa pada tahun 1890, istilah feminisme sering diasosiasikan dengan kemajuan dan kemodernan Barat. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menimbulkan konflik, bila saja mayoritas masyarakat Indonesia tidak menganggap bahwa ‘Barat’ artinya adalah anti-Islam dan atheis.

Gerakan atau sikap yang mendorong kemajuan perempuan sebenarnya telah jauh dilakukan berabad-abad sebelum istilah feminisme muncul. Yang jamak kita ketahui tentu adalah sikap para perempuan di sekitar Nabi Muhammad yang tidak pasif dan menunggu inisiatif kaum lelaki. Salah satunya adalah Siti Khadijah yang berdagang hingga meraih kekayaan yang besar, dan tetap melakukannya saat ia telah menikah dengan Nabi Muhammad saw., yang dilamarnya sendiri.

Meski saat itu istilah feminisme belum lahir, sikap Siti Khadijah merupakan salah satu bentuk semangat dan peran perempuan yang luas dalam masyarakat. Perempuan bukanlah wanita lemah dan tak berdaya, melainkan memiliki potensi luar biasa bila diberi ilmu dan kesempatan, sama seperti kaum lelaki.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Hal inilah yang membuat Rahmah El-Yunusyiah, yang lahir pada 18 Mei 1901 di Padang Panjang, bertekad untuk memajukan nasib kaum perempuan dengan mendirikan sekolah bagi kaumnya. Hal ini sangat tidak lazim di zaman tersebut, yang meski memang sudah berdiri banyak sekolah, tapi hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki, khususnya sekolah pada tingkat yang lebih tinggi. Saat itu, banyak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah karena dinikahkan oleh orangtuanya, sehingga peran perempuan sangatlah terbatas di tengah masyarakat karena dianggap tidak berpendidikan.

Saat hendak mendirikan sekolah pun Rahmah menghadapi banyak sekali ujian, baik dari keluarga, tetangga, bahkan hingga orangtua para muridnya. Perempuan pertama yang mendapat gelar Syekhah dari Al-Azhar Mesir, Kairo, ini bahkan harus menempuh perjalanan panjang, baik jarak maupun waktu, sering kali dengan berjalan kaki seorang diri agar mendapatkan dana untuk memajukan sekolahnya. Tentu ia juga mendapatkan beberapa penawaran dana dari pihak luar, namun tak jarang Rahmah menolak bantuan seperti ini karena ada maksud politis yang malah akan mencederai perjuangannya dalam memandirikan murid-murid perempuannya.

Meski tak pakai jargon dan istilah mentereng, jelas Rahmah menunjukkan semangat feminisme, agar perempuan lebih berdaya dalam menentukan nasibnya sendiri.

Bisa jadi Diniyyah Puteri merupakan sekolah khusus muslimah pertama di dunia. Al-Azhar saja belum punya. Namun yang Rahmah tahu, ia mengajar dan mendidik perempuan agar tak dibelenggu dirinya sendiri dan dibelenggu oleh penafsiran agama yang dikuasai kaum pria. (TR)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Readezvous adalah ajang kumpul para pecinta buku

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image