Novelisasi Biografi Tuan Hassan
A.Hassan, demikian kita mengenalnya. Nama yang cukup familiar dalam sejarah Reformis Islam Indonesia. Nama yang identik dengan debat-debat hebatnya. Nama yang dikenal sebagai ulama produktif, dengan lebih dari 100 judul buku telah ditulisnya. Sosok yang juga mengabadi dalam Surat-Surat Islam dari Ende, sebuah korespondensi bersejarah bersama Soekarno yang kala itu diasingkan di Ende, Flores. A.Hassan pun dikenal sebagai guru bagi tokoh bangsa lainnya, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary.
Sosok yang juga akrab dipanggil “Tuan Hassan” dan dikenal “Hassan Bandung” itu lahir di Singapura pada 1887. Ayahnya bernama Vappu Maricar, namun lebih dikenal Ahmad. Sebutan “Ahmad” sendiri merupakan gelar yang menandakan ahli agama Islam bagi masyarakat Tamil. Ahmad menikah dengan Muznah. Keduanya berasal dari Madras, India. Namun Muznah terlahir dan besar di Surabaya, Jawa Timur.
Lahir sebagai keturunan India, Tuan Hassan memilih berjuang di Indonesia. Bermula sejak tahun 1921, saat dirinya hijrah ke Surabaya untuk urusan niaga. Lalu kemudian pindah dan menetap di Bandung pada 1924 hingga 1940. Sekitar 17 tahun di Bandung, Hassan yang pada mulanya ingin kursus tenun, akhirnya berkhidmat sebagai guru Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi yang berdiri pada 1923 di Bandung. Hassan bergabung bersama PERSIS, 2 tahun pasca kedatangannya ke Bandung.
Tahun 1940 Tuan Hassan pindah dan menetap di Bangil hingga wafat di usia 71 tahun, pada 10 November 1958. Jalan jihad Hassan di Bandung dan Bangil dipenuhi dengan karya-karya. Sebagai pendiri majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa (1931), dan majalah Alisan (1935). Juga sebagai penulis fikih, politik, teologi, tafsir, hingga puisi. Buku-buku seperti Pengajaran Shalat (1930), Ketuhanan Yesus (1939), ABC Politik (1947), hingga tafsir 30 juz Al-Furqan (1956) masih menjadi rujukan hingga sekarang. Inilah yang menjadikan pemikiran A.Hassan menarik untuk dijadikan objek penelitian.
Ada banyak karya tulis yang mengkaji tentang A.Hassan dan PERSIS. Di masa awal, pada 1929 terbit buku tentang sejarah Islam di Indonesia karangan Guillaume Frederic Pijper, Sejarawan asal Belanda. Pijper menyisipkan bahasan tentang PERSIS dan A.Hassan dalam karyanya. Selanjutnya pada 1960, disertasi Deliar Noer di Cornell University tentang Gerakan Modern Islam di Indonesia tahun 1900-1942. Karya yang membahas pula tentang PERSIS. Deliar Noer melakukan serangkaian wawancara kepada A.Hassan dan Mohammad Natsir.
Karya Pijper dan Noer itulah yang menjadi sumber penting bagi disertasi Howard Pederspiel yang berjudul The Persatuan Islam (Islamic Union) di McGill University tahun 1966. Kemudian pada tahun 1970 dipublikasikan oleh Cornell University. Dan studi Pederspiel ini menjadi karya paling awal dalam membahas sejarah PERSIS secara khusus. Pederspiel fokus pada gerakan PERSIS tahun 1923-1957.
Estafeta penulisan sejarah PERSIS dilanjutkan oleh Dadan Wildan Annas, yang menulis sejarah PERSIS 1923-1983 (1995). Lalu disusul oleh Toha Nashrudin dan Dani Asmara yang menulis sejarah Pemuda PERSIS (2002); Badri Khaeruman yang fokus pada pemikiran keagamaan PERSIS (2010), Tiar Anwar Bachtiar sejarah Pesantren PERSIS (2012); Pepen Irfan Fauzan dan Tiar Anwar tentang sejarah pemikiran dan gerakan politik PERSIS masa Orde Baru (2019); dan Hafidz Azhar tentang sejarah PERSIS di masa Hindia Belanda 1923-1939 (2022).
Selain karya-karya yang mengkaji khusus tentang PERSIS, ada pula karya yang fokus membahas tokoh PERSIS. Biografi A.Hassan oleh Tamar Djaja (1980), dan Syafiq Mughni (1980). Kemudian biografi Mohammad Natsir pertamakali oleh Yusuf Abdullah Puar (1978); biografi Moenawar Chalil dalam disertasi Thoha Hamim di McGill University (1996); pemikiran A.Hassan dalam disertasi Akh Minhaji di McGill University (1997); biografi Aceng Zakaria oleh Pepen Irfan Fauzan, dkk (2021).
Estafeta penulisan tersebut menjadi bukti bahwa sebuah karya seringkali menjadi inspirasi sekaligus referensi bagi lahirnya karya baru. Dengan objek penelitian yang sama, setiap penulis mencoba saling melengkapi. Atau bahkan memberikan sudut pandang tersendiri. Dari Pijper (1929) hingga Hafidz (2022), karya tentang PERSIS dan tokoh-tokohnya terbit dengan fokus penelitian yang beragam. Sebuah legasi intelektual yang amat berharga bagi generasi selanjutnya.
Novelisasi Biografi A.Hassan
Penulisan biografi A.Hassan dimulai oleh Tamar Djaja sebagai penulis yang pernah berangkat Haji bersama A.Hassan pada 1956. Djaja dalam pengantarnya menceritakan bahwa pada 1957 ia datang ke Bangil dan menerima catatan-catatan riwayat hidup A.Hassan. Ucapan “Tuan boleh menulisnya” dari A.Hassan menjadi landasan. Pasalnya, barulah saat itu A.Hassan mengizinkan riwayat hidupnya ditulis secara lengkap. Setelah 15 tahun berlalu, tepatnya tahun 1980, buku berjudul Riwayat Hidup A.Hassan diterbitkan.
Syafiq Mughni menjadi penulis berikutnya yang menyusun biografi A.Hassan. Syafiq merupakan alumni Pesantren PERSIS Bangil. Pada tahun 1979, Syafiq menyusun skripsi berjudul Hassan dan Peranannya dalam Persatuan Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dengan beberapa perubahan, pada tahun 1980 tersusunlah buku Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal.
Sejauh ini, karya Tamar Djaja dan Syafiq Mughni menjadi sumber otoritatif biografi A.Hassan. Meski demikian, akan menarik jika ada pembaruan dalam penulisannya. Pembaruan yang dimaksud mencakup sudut pandang dan gaya penulisan. Maka novelisasi sejarah adalah opsi yang dapat dipilih. Lewat novel, alur hayat perjuangan A.Hassan akan lebih kronologis dan imajinatif. Tanpa menegasikan subtansi sejarahnya, novel justru akan memberi sentuhan lain yang tidak terdapat dalam buku ilmiah. Sebagaimana pendapat Kuntowijoyo dalam buku Budaya dan Masyarakat (1987), menyebut bahwa novel sejarah berisikan cerita tentang peristiwa sejarah serta memiliki kebenaran sejarah (historical truth).
Heru Marwata dalam jurnal Sejarah Novel Sejarah Indonesia: Komunikasi antara Dunia Sastra dengan Dunia Nyata (2008) mengungkapkan bahwa novel sejarah ditulis menggunakan repertoar peristiwa historis yang leluasa, sehingga dapat mengekspresikan peristiwa tersebut secara gamblang. Sedangkan Koh Young Hun dalam buku Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2011), menyebut bahwa novel sejarah adalah novel yang mengambil tokoh-tokoh dan peristiwa bersejarah, latar belakang masa dan waktu silam dibandingkan dengan saat penulisan novel yang bersangkutan. Artinya berpotensi menghadirkan sudut pandang kekinian dalam memotret masa lalu.
David Daiches (1974) sebagaimana dikutip Koh Young dalam bukunya, menyebut bahwa penulis novel sejarah tidak meniru atau memaparkan dengan melulu peristiwa atau keadaan yang diketahuinya. Namun menyampaikan unsur-unsur (peristiwa atau tokoh) yang khas dan universal. Dengan demikian, ia menyoroti sifat hakiki sebuah peristiwa atau keadaan, entah yang diceritakannya benar-benar terjadi atau tidak.
Novel biografi tokoh cukup populer di industri penerbitan Indonesia. Sudah banyak novel biografi yang diterbitkan dan menarik banyak pembaca. Seperti Penakluk Badai (Hasyim Asy’ari), Jejak Sang Pencerah (Ahmad Dahlan), Perempuan yang Mendahului Zaman (Rahmah el-Yunusiyah), Buya Hamka, dan Natsir. Maka sudah saatnya biografi A.Hassan ditulis pula dalam bentuk novel. Mengingat saat ini novel mendominasi pasar pembaca di Indonesia. Peluang yang baik untuk mempublikasikan jalan jihad 71 tahun A.Hassan kepada generasi kekinian.
Toko buku Gramedia, sebagai jaringan toko buku terbesar di Indonesia, pada tahun 2018 mengeluarkan data penjualan buku didominasi oleh novel, yaitu sebesar 18,6 persen dari total 34 juta buku terjual. Berikutnya adalah buku anak (12,7 persen), buku pelajaran (12,6 persen), dan buku agama (12,4 persen). Kemudian, berdasar data internal platform e-commerce global dari Picodi.com, pada 2019 diketahui bahwa buku fiksi/sastra paling diminati dengan persentase mencapai 75%. Disusul buku non-fiksi, bisnis, sains popular, literatur hobi, dan literatur sains serta buku teks.
Begitu juga hasil survei Perpustakaan Nasional (Perpusnas), yang dikutip mediaindonesia.com, edisi Selasa (8/9/2020), yang menyebut bahwa buku sastra menjadi genre yang paling diminati pembaca di Indonesia, disusul buku agama. Internal platform e-commerce global mengkategorikan beberapa genre yang paling banyak diminati. Thriller berada di urutan teratas dengan 33 persen, disusul sci-fi dan fantasi (31 persen), sejarah (29 persen), romansa (25 persen), petualangan (22 persen), klasik (18 persen), komik (18 persen), kriminal (14 persen), modern (13 persen), dan puisi (12 persen).
Sastra, sejarah, dan agama, adalah tiga hal yang terdapat dalam novel biografi A.Hassan. Dan berdasar data di atas, ketiganya mendapat sambutan cukup baik dari para pembaca di Indonesia. Modal yang baik untuk mengenalkan kiprah A.Hassan lebih luas lagi. Dan semoga lewat novel, tema-tema berat yang identik dengan sosok A.Hassan, dapat sampai dengan sederhana sekaligus menghibur.
Harapan hadirnya novel A.Hassan dalam khazanah literasi PERSIS coba saya wujudkan tahun ini. Setelah lebih dari 4 dekade sejak terbitnya biografi A.Hassan, ini saatnya melanjutkan dan memperbarui. Prosesnya sedang berlangsung dan segera rampung. Perjalanan panjang membaca sosok A.Hassan lewat teks dan wawancara, memberikan banyak simpulan sekaligus kejutan. Salah satunya saat mendapat keterangan dari sudut pandang keluarga (cucu) tentang A.Hassan.
“Bapak Hassan itu tidak pernah saya lihat menganggur dari aktivitas membaca dan menulis,” kenang Tajunnisa Abdullah Musa (cucu A.Hassan), Selasa, 21 Maret 2023.
Deretan buku tebal tertata rapi di dalam rak Perpustakaan A.Hassan, Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Di gedung tua itu, buku-buku usang dengan kertas kuning kecoklatan memenuhi sekeliling ruangan. Di ruangan itulah, cerita tentang A.Hassan diutarakan oleh sang cucu, Tajunnisa Abdullah Musa. Beliau adalah putri dari Abdullah Musa, yang merupakan menantu A.Hassan. Mami Ica, begitu panggilan akrabnya, adalah satu dari beberapa cucu A.Hassan yang menjadi narasumber di Bangil.
Sisi lain A.Hassan terungkap sebagai sebuah romantika. Sehingga kita tahu, hidup A.Hassan tidak hanya tentang fikih dan perdebatan. Tapi juga tentang romantisme dan syair-syair keteladanan. Maka lewat novel, A.Hassan akan kita jumpai sebagai guru yang dirindukan.
Hilman Indrawan, Penulis dan Pemuda PERSIS Bandung