Teater 1923: Berawal dari Penulisan Novel Biografi A. Hassan
Pagelaran seni Teater 1923 merangkum jalan panjang tokoh-tokoh Persatuan Islam dari tahun 1923-1959. Berawal dari penulisan novel biografi A.Hassan, diadaptasi menjadi naskah pertunjukan teater.
Karya pertama abad kedua. Demikian tanda disematkan pada karya berjudul “1923”. Sebuah pertunjukan teater berlatar sejarah Persatuan Islam. Mengangkat kiprah tokoh-tokoh Persatuan Islam (PERSIS). Dengan latar waktu tahun 1923 hingga 1959. Dari tahun pendirian oleh KH. Zamzam dan M. Yunus, hingga masa kepemimpinan Isa Anshary. Bermula dari gagasan-gagasan keagamaan di gang belakang Pakgade, hingga ide-ide besar di ruang politik sidang Konstituante.
Teater ini menghadirkan banyak tokoh, seperti KH. Zamzam, Haji Muhammad Yunus, Sabirin, A. Hassan, Natsir, Fachroeddin, Isa Anshary. Selain dari PERSIS, ada pula tokoh-tokoh lain turut hadir dalam teater 1923. Di antaranya Ahmad Soerkati, Tjokroaminoto, Hamka, hingga Soekarno. Juga tokoh antagonis seperti D.N. Aidit (PKI), Abu Bakar Ayyub (Ahmadiyah), M. Ahsan (Ateis).
Akan dipentaskan dalam event Reuni Akbar Alumni PPI Pajagalan, 24 September 2023. Bertempat di Gedong Budaya Sabilulungan, Kab. Bandung. Teater 1923 merupakan karya kolaboratif, antara panitia Reuni Akbar PPI Pajagalan sebagai event organizer, dan Madrasah Pena sebagai team produksi.
Arga Adha Anwari berlaku sebagai Pimpinan Produksi/Produser, mewakili panitia Reuni Akbar. Sedangkan dari Madrasah Pena, Hilman Indrawan berlaku sebagai Sutradara dan Penulis Naskah. Kru dan para pemeran merupakan pegiat Madrasah Pena yang berkolaborasi dengan kader-kader muda Persatuan Islam.
Teater sejarah ini merupakan rangkuman perjalanan panjang PERSIS dan tokoh-tokohnya. Sehingga memerlukan riset panjang dalam penulisannya. Studi pustaka yang menyerap banyak informasi dari buku-buku terbitan tahun 1920-an, hingga tahun 2020-an. Dari Frederic Pijper hingga Hafidz Azhar. Mengumpulkan majalah-majalah PERSIS, seperti Pembela Islam, Alisan, hingga Risalah. Mewawancarai narasumber ahli dan narasumber keluarga. Dari Bandung, Bogor, Garut, hingga Bangil di timur pulau Jawa.
Sebuah perjalanan menyenangkan yang disiapkan untuk penulisan novel biografi A.Hassan. Yang kemudian diadaptasi menjadi naskah pertunjukan teater. Pertunjukan yang hadirkan banyak fragmen. Bermula dari monolog Hamimah, istri KH. Zamzam, hingga berakhir di meja puisi buya Hamka kepada Natsir. Yang kemudian dilanjutkan dengan kontemplasi tentang estafeta jihad pasca kepemimpinan Isa Anshary. Dari KH. E.Abdurrahman, hingga KH. A. Zakaria.
Dipungkas epilog emosional dari seorang santri tentang pesan perjuangan dari kedua pemimpin terakhir yang wafat setelah purna tugas di Jam’iyyah.
Setidaknya teater berdurasi sekira 2 jam ini akan merangkum 4 dekade awal perjuangan tokoh-tokoh PERSIS. Tentu saja bukan pekerjaan mudah, mengingat akan ada banyak fragmen yang berpindah cepat dari peristiwa ke peristiwa. Ada yang tersampaikan lewat monolog, dialog, maupun dramatisasi peristiwa. Seperti fragmen penyerangan rumah-rumah anggota PERSIS di Pameungpeuk; pengungsian tokoh-tokoh PERSIS saat Bandung Lautan Api; dan romansa Natsir-Noer Nahar.
Melibatkan lebih dari 60 orang kader PERSIS, santri dan mahasiswa. Bagi para pemeran, ini merupakan wahana belajar sejarah yang menyenangkan. Belajar sejarah dengan memerankan tokoh sejarah. Membaca, menghafal teks, hingga mendalami peran. Pun bagi penonton yang akan menyaksikan resume sejarah yang dipentaskan dengan nilai artistik yang apik. Mulai dari jas, peci, hingga jenis bolpoin, kru mencoba mendekati apa yang ditemukan dalam riset.
Inilah proses belajar. Belajar menghadirkan teks di atas panggung. Jika kemudian ada celah, semoga di kemudian hari dapat disempurnakan lewat karya-karya lainnya.
Sebagai pamungkas, mari kita renungkan narasi yang ditulis pemeran Fachroeddin al-Kahiri:
“Tuan, kopi ini hampir habis, bukankah demikian juga umurmu? Tapi, di waktu bersamaan, aroma dan rasa akan senantiasa kau ingat. Kau cukup sampaikan ingatan itu pada anak cucumu kelak. Pastikan mereka memesan kopi yang sama. Saat kau sampai pada tegukkan akhir, tegukkan baru lahir. Ya, gelasnya mungkin berbeda; bi lisaani qaumih. Tetapi rasa dan aroma akan senantiasa sama; li i’laai kalimaatillah, ar-ruju’ ilal qur’an wa sunnah.”
(Kontributor: Hilman Indrawan)