'Quo Vadis' Buku Indonesia?

Pustaka  
Indonesia menjadi negara market focus pada London Book Fair 2019.
Indonesia menjadi negara market focus pada London Book Fair 2019.

Perbukuan nasional mengentak saat Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair, ajang perbukuan nomor wahid sejagat, pada 2015. Lalu pada 2019, Indonesia menjadi negara market focus pada London Book Fair 2019 yang tak kalah bergengsi. Predikat serupa kemudian melekati Indonesia pada berbagai peristiwa perbukuan regional; dan pada 5-7 April tahun ini, kembali ratusan judul Indonesia hadir di London.

Tujuh tahun dalam gempita, quo vadis perbukuan Indonesia? Kalau sekadar urusan pameran, jawabannya ringkas: Ingin memukau di luar, memikat pula di dalam. Hadir memesona di Frankfurt atau London, mengundang decak juga dalam hajatan buku di rumah sendiri.

Namun, buku bukan sekadar komoditas. Ia, lebih dari itu, mewakili bangsa pemiliknya sekaligus cermin cara pikir masyarakatnya. Ia turut menentukan marwah kebudayaan sebuah bangsa dalam pergaulan di antara bangsa-bangsa lainnya. Dengan demikian, kita tak bisa mengalkulasi buku cuma dari nilai ekspornya, sumbangannya terhadap produk domestik bruto, atau sekadar nilai transaksi perdagangan hak ciptanya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kita mungkin taat pada pepatah, “Don’t judge a book by its cover.” Tapi kita bisa menilai sebuah bangsa dari buku-bukunya.

Indonesia tak dapat menghentikan apa yang telah dimulai. Cermin terbaik ada pada Korea, Turki, dan Jepang yang berhasil memanfaatkan momentum panggung Frankfurt dan London dengan memperkokoh infrastruktur perbukuannya. Ketika mata dunia mengerling, mereka telah siap. Buku-buku mereka telah hadir dalam bahasa internasional, dukungan penerjemahan telah siaga, ekosistem perbukuan dibangun, dan minat baca dikembangkan.

Salah satu fondasi bagi kontribusi Korea dalam kultur global sesungguhnya adalah buku. Negara ini baru pada 2005 menjadi tamu kehormatan di Frankfurt, namun sejak 1996 sudah memiliki Korean Literature Translation Fund. Bahkan sejak 2001, program itu lebih solid dalam bentuk Literature Translation Institute of Korea.

Sederhananya, mereka memberikan sokongan dana bagi penerjemahan buku-buku Korea ke dalam bahasa asing, kepada penerbit negara mana pun yang meminati konten mereka. Ini pula yang dilakukan Turki melalui TEDA. Mereka sadar kebudayaan bukan sekadar hal-hal yang hadir dalam museum, melainkan sesuatu yang hidup dalam bangsa di panggung dunia melalui buku.

Jadi, apa yang bisa dikerling dari perbukuan Indonesia? Belum banyak. Walau perbukuan negeri ini mendapatkan pengandaian sebagai gadis cantik yang layak-lirik, tak banyak penerbit maupun literary agent luar yang bisa memahami si gadis. Kerlingan sulit bermuara ke pelaminan karena infrastruktur perbukuan tidak cukup memberi restu.

Sejak 2017, Indonesia memiliki Undang-undang No. 3 tentang Sistem Perbukuan. Dengan penekanan pada ekosistem perbukuan, undang-undang ini amat mementingkan peran para pelakunya—yaitu penulis, editor, penerjemah, penyadur, desainer, ilustrator, penerbit, pengembang buku elektronik, percetakan, dan toko buku—dan hubungan di antara mereka. Masyarakat pembaca menjadi bagian dari ekosistem ini dan undang-undang ini mengamanatkan hubungan yang produktif, harmonis, dan berkeadilan antara pelaku dan masyarakat.

Di hulu, undang-undang ini mengamanatkan perbaikan kualitas pelaku yang diharapkan berujung pada kualitas buku. Terasa logis. Standar kompetensi kerja dan akreditasi pun menjadi penting. Namun, undang-undang meminta lebih kepada pelaku, yaitu agar mereka menghasilkan buku yang juga murah dan merata yang dalam banyak kasus, penggabungan ketiga hal ini (mutu, murah, merata) kerap tidak masuk akal. Buku menjadi komoditas belaka yang dinilai berdasarkan ongkos cetak, tak lebih sebagai produk akhir pengolahan kertas dan tinta.

Itulah sesat yang kaprah. Masyarakat tak bisa membedakan percetakan dengan penerbitan karena tak memiliki imajinasi bahwa buah pikiran yang dituliskan pun harus dihargai. Buku sebagai produk kreatif tidak saja memiliki intellectual property, melainkan juga hak ekonomi.

Tanpa pengakuan terhadap buah pikiran, buku akan tetap menjadi korban pelecehan nilai. Penjualan buku bajakan dengan mudah berbiak di lokapasar daring. Masyarakat memberikan bintang lima pada rating buku hanya dengan pertimbangan kecepatan kirim, kemasan yang baik, atau keramahan penjual. Buku bajakan laku karena harganya murah dan kualitas cetaknya “setara ori”.

Penerbit tidak kekurangan kemampuan di hulu untuk menghasilkan karya yang baik, bahkan saat berhadapan dengan disrupsi digital dan pandemi sekalipun. Persoalan di hilir lebih utama. Tiap tahun, jumlah judul buku penerima ISBN terus melonjak, dari sekitar 95 ribu (2017) ke 123 ribu (2019) lalu 159 ribu (2021), namun buku yang beredar di masyarakat terus merosot. Tiras cetak melorot dari rata-rata 4.000 per judul ke 3.000 dan akhirnya 2.000.

Pemerintah memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk menjamin terciptanya ekosistem perbukuan yang sehat. Tidak hanya di hulu, melainkan di hilir dalam kaitan ketersediaan buku di masyarakat termasuk melalui perpustakaan, taman bacaan, dan terutama lewat pengembangan literasi.

Tahun ini Ikapi mengadakan Festival Hari Buku Nasional (FHBN), Islamic Book Fair, dan Indonesia International Book Fair, demi ekosistem perbukuan di hilir yang lebih baik. Jangan biarkan penerbit yang sudah berlelah-lelah di hulu, harus pula berdarah-darah menggelar pameran sendirian, tanpa dukungan.

Pada 10-12 November tahun ini pula, Jakarta dan Ikapi akan menjadi tuan rumah Kongres ke-33 International Publishers Association (IPA). Organisasi ini beranggotakan 86 asosiasi penerbit dari 71 negara. Kembali, mata dunia tertuju ke Indonesia. Jangan sampai mereka hadir di negeri ini, namun tak dapat mengerling apa pun dalam perbukuan kita.

***

Arys Hilman, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Anggota Komite Eksekutif International Publishers Association (IPA), Jenewa

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Readezvous adalah ajang kumpul para pecinta buku

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image