Nadiem Makarim: Buku Sebagai Pengalaman Menyenangkan
Sejak balita, Mendikbudristek Nadiem Makarim sudah amat dekat dengan buku. Ia mengingat masa-masa usia 2-5 tahunnya di Australia. Sang ibu selalu membacakannya kisah-kisah dari buku. Hal ini tidak saja membuatnya lekat dengan berbagai cerita menarik, melainkan juga membangun ikatan emosional yang kuat dengan sang ibu.
Di rumah keluarga orangtua Nadiem, buku adalah benda yang mudah ditemui. “Buku ada di mana-mana, bahkan toilet pun penuh buku,” kata anak praktisi hukum Nono Anwar Makarim ini. Ia mengisahkan hal itu saat tampil pada Lokakarya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Buku Cerita Anak dari Sabang Sampai Merauke, Rabu (8/6) di Kemendikbud.
Buku tak mengenal plafon di mata keluarga Nadiem. Tak ada batas untuk membeli buku, sepanjang si anak menyukainya. “Berbeda dengan pembelian mainan, cokelat, atau menonton televisi, ada kuotanya,” kata Nadiem. Minuman soda bahkan tidak diizinkan sama sekali.
Hal itu pula yang Nadiem dan sang istri, Franka Franklin, berlakukan untuk anak-anak mereka. Saat anak-anak tersebut diajak ke toko buku, mereka dibebaskan untuk memilih buku-buku yang mereka sukai. Pilihan bisa berbeda dengan selera Nadiem dan Franka, dan hal itu tidak menjadi masalah. Namun, ada satu yang mereka tegas bersikap, tidak memberikan gadget kepada anak-anak.
Bagi penggemar kisah Tintin ini, sungguh penting untuk membuat anak-anak gemar membaca. Dengan demikian, kualitas buku yang pertama dilihat justru kemampuan buku tersebut menyenangkan anak-anak. “Objective yang utama adalah membuat anak-anak mencintai buku,” katanya. Buku tentu memiliki sasaran lain, seperti tentang moralitas, keadilan, dan pengetahuan. Namun, jika tidak dibaca karena anak-anak tidak gemar membaca, buku itu menjadi percuma saja.
Senada Nadiem, menurut Franka, anak-anak pada usia awal tidak bisa dijejali semua hal. “Biarkan mereka senang membaca dulu,” katanya.
Kebiasaan Nadiem membacakan buku cerita kepada anak-anak tidak mengenal waktu khusus. Kapan pun bisa dia lakukan. Namun, dalam pandangan Franka, Nadiem melakukannya secara terstruktur, punya sistem. Dia biasanya menawarkan lima judul buku untuk dibacakan. Sang anak boleh memilih. Lalu sebagai bonus, mereka dibacakan buku terkait kisah Frozen yang amat disukai anak-anak dan dikenal melalui film—walaupun kisah ini sebenarnya sama sekali bukan kegemaran sang ayah.
Perlu ketekunan untuk membacakan buku untuk tiga putri sekaligus yang memiliki tingkat perhatian berbeda-beda. Terkadang satu anak sangat banyak bertanya, sehingga halaman buku yang dibaca tidak maju-maju dan anak yang lain sudah bosan. Terkadang ada anak yang harus diikuti pergerakannya, dibacakan buku sambil makan bahkan sambil ke toilet. “Tidak selalu mudah,” kata Nadiem.
Fungsi entertain sebuah buku adalah hal pertama yang amat penting di mata Nadiem. Ceritanya menyenangkan, dikemas secara menyenangkan pula. Ia mengajukan contoh, jika ada anak diarahkan membaca buku tertentu, lalu pada kesempatan lain ia kembali membaca buku tersebut, maka usaha membangun kecintaan terhadap buku bisa dikatakan berhasil.
Hal kedua yang tak kalah pentingnya adalah perpustakaan, sebagai akses terhadap bahan bacaan. Perpustakaan yang bagus, kata Nadiem, bisa merujuk kepada atmosfer toko buku yang dipadati pengunjung. Sementara, hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah faktor pemicu anak-anak membaca, bisa guru atau pustakawan yang menggugah rasa ingin tahu siswa tentang konten tertentu.
Mendikbudristek menjanjikan program pengadaan buku cerita yang menyenangkan untuk anak-anak sebagai prioritas program kerjanya. Tahun ini sudah tersedia drive ratusan judul buku yang disebarkan ke daerah-daerah. “Tahun depan akan lebih banyak lagi,” katanya. Hal ini memerlukan dukungan para creator dan penerbit. “Saatnya kita bergerak lebih cepat,” ujar Nadiem.
Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)